Selasa, 03 Maret 2015

05.14


Ketika kecil Soekarno tak menunjukkan glagat sebagai "Orator Ulung". Masa kecil Soekarno tak terlepas dari kisah pewayangan Jawa. Pada tahun 1901, awalnya Soekarno diberi nama Kusno, namun karena lemah dan sakit-sakitan di usia 5 tahun namanya diubah menjadi Soekarno yang diambil dari panglima perang dalam kisah Mahabharata yaitu Karno/ Karna. dan dengan nama itulah menjadi Doa yang terwujud.


Seperti dalam dikisahkan Mahabharata, ketika Dewi Kunti (sebelum menjadi Ibu Pandawa) sedang bermain di dalam taman. Dewi Kunti mencoba mantra/ doa yang telah ia dapatkan dari Rsi Durvasa, Dewi Kunti memfokuskan mantra tersebut pada Matahari sehingga muncullah Dewa Surya dihadapannya. Dewi Kunti diberi anak oleh Dewa Surya, namun karena tidak mau memiliki seorang anak sebelum menikah dan menjaga kehormatan ayahnya, Dewi Kunti lalu membuang anaknya yang bernamaa Karna di pinggir sungai.

Bapak Soekarno berharap agar Soekarno menjadi seorang patriot, pahlawan besar bagi rakyatnya, dan menjadi Karna kedua. Dalam bahasa Jawa huruf A menjadi O. Awalan “Su” berasal dari kata Subha yang artinya "baik" atau paling baik. Jadi nama Sukarno berarti pahlawan yang paling baik.

Soekarno memang sosok yang tidak pernah membosankan untuk diulas dan diperbincangkan. Sosok yang fenomenal di Tanah Air ini selalu terkenang di hati masyarakat Indonesia. Sukarno dilahirkan di bumi nusantara dengan berbagai talenta. Mulai dari sosok romantis, karismatik, sampai seorang tokoh revolusioner, semua dimilikinya. Tidak salah jika beberapa orang mengatakan Tuhan menciptakan Sukarno sebagai manusia yang hampir sempurna.


Bahkan sesudah ia dikebumikan pun masih ada saja hiruk-pikuk tentangnya. Seperti istilah yang diangkat oleh Argawi Kandito dalam bukunya, Soekarno; The Leadership Secrets Of. Setelah sukses dengan bukunya Ngobrol Bareng dengan Gus Dur di Alam Kubur, Syeckh Pandik, julukan Argawi Kandito, kembali mengusung sosok fenomenal lainnya, Sukarno. Kembali pendekatan metafisik-spiritual digunakan untuk menulis buku ini.

Terlepas ketidakpercayaan masyarakat terhadap diskursus yang diusung Argawi ini, terdapat pesan spirit perjuangan Sukarno dan kisah hidupnya yang begitu luar biasa digambarkan. Ulasan spirit inilah yang menjadikan buku ini menarik untuk dibaca sekaligus sebagai refleksi dalam mengisi kemerdekaan.

Menurut hemat penulis, secara garis besar, buku ini diklasifikasikan menjadi tiga bagian: tokoh-tokoh inspirator, nasionalisme, dan gaya kepemimpinan Sukarno. Pertama, Sukarno banyak mengambil pelajaran dari orang-orang yang dikaguminya. Dari Gajah Mada, misalnya, Sukarno banyak belajar ilmu politik, ekonomi, nasionalisme, dan kenegaraan. Ia juga belajar cara penyampaian ideologi dari metode dakwah Sunan Kalijaga. Masih banyak tokoh yang dikagumi Sukarno, seperti Ki Ronggowarsito, Jendral Sudirman, dan Dr Sutomo.


Kedua, dengan semboyan “Merdeka atau Mati!” Soekarno berjuang sampai titik darah penghabisan dalam meraih kemerdekaan Indonesia. Begitu pula pasca kemerdekaan, Sukarno menyerahkan hidup dan matinya demi kesejahteraan Nusantara. Rakyat menjadi orientasi utama dalam setiap kebijakannya, terutama kaum-kaum marjinal. Bahkan Sukarno mengatakan “rakyat harus cukup makan, pakaian, hidup sejahtera, dan merasa dipangku ibu pertiwi”. Ideologi Marhaenisme dan penggantinya, Konsep Berdikari, dibuat dan diorientasikan guna mewujudkan kesejahteraan rakyat Indonesia.

Ketiga, Soekarno memimpin bangsa dengan segenap hati dan jiwanya. Sukarno mengakomodasi seluruh lapisan masyarakat, kaya-miskin, pejabat-rakyat. Semua di matanya tidak ada perbedaan. Yang paling penting dari gaya kepemimpinannya adalah sikap keberaniannya. Bahkan ia pernah berkata, “Jika seorang meninggalkan warisan yang benar-benar abadi, hal itu pastilah hasil dari keberanian”. Keberaniannya terlihat ketika ia menyerukan ajakan “Ganyang Malaysia”. Pada saat itu, Malaysia bertindak semena-mena terhadap rakyat Indonesia di perbatasan. Keberanian itu tampak pula saat pembebasan Irian Barat dari tangan Belanda.

0 komentar:

Posting Komentar